Hari ini adalah 10 November bertepatan HARI PAHLWAN.
Untuk menginspirasi para GREEN WARRIOR tentang semangat
kepahlawanan kita perlu mengenal sosok PAHLAWAN NASIONAL BUNG TOMO
Selain proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, Indonesia juga
mencatat momen sejarah penting dalam perjuangan melawan penjajah. Peristiwa itu
terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya atau yang kemudian
diabadikan menjadi Hari Pahlawan.
Menyebut Hari Pahlawan, memori bangsa teringat dengan aksi
heroik Sutomo atau lebih dikenal dengan Bung Tomo dalam pertempuran di Surabaya
melawan pasukan Inggris dan NICA-Belanda.
Dalam perang itu, Bung Tomo tampil sebagai orator ulung di
depan corong radio. Suara dan pekikan takbirnya membakar semangat rakyat untuk
berjuang melawan para penjajah.
Namun di balik aksi heroiknya, sosok Bung Tomo menyimpan
kepribadian menarik yang patut diketahui. Apa saja? Berikut 6 fakta tentang
Bung Tomo tersebut:
1. Tak Tamat sekolah
Siapa sangka, sosok Bung Tomo ternyata tak tamat sekolah.
Hal itu terjadi kala ia berusia 12 tahun.
Bung Tomo yang lahir pada 3 Oktober 1920 di Surabaya, Jawa
Timur dibesarkan dalam keluarga kelas menengah. Dia juga keluarga yang sangat
menghargai dan menjunjung tinggi pendidikan.
Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo adalah seorang kepala
keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan,
sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor
pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda.
Pernikahan Bung Tomo dan Sulistina di Masa Revolusi
Bung Tomo mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa
pendamping dekat Pangeran Diponegoro. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah,
Sunda, dan Madura.
Meski berasal dari keluarga menengah, Bung Tomo tidak
berpangku tangan. Dia tetap bekerja keras. Kondisi ini membuatnya terpaksa
meninggalkan pendidikan di MULO karena harus melakukan pekerjaan kecil-kecilan
untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu.
Kelahiran putri sulung Bung Tomo, Tien Sulistami, dalam masa
agresi militer Belanda. (IPPHOS/Koleksi Keluarga/wwn)
Belakangan, Bung Tomo dapat menyelesaikan pendidikan HBS-nya
lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.
HBS (Hegere Burger School) merupakan pendidikan menengah
umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi
dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Masa studi HBS berlangsung dalam 5
tahun atau setara dengan MULO+AMS (SMP+SMA).
Kala muda, Bung Tomo aktif dalam organisasi kepanduan atau
KBI. Bung Tomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran
nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan
pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya.
Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil
menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda.
2. Wartawan
Selain sebagai orator ulung, Bung Tomo juga seorang
wartawan yang aktif menulis di beberapa surat kabar dan majalah. Tulisannya
kerap menghiasi Harian Soeara Oemoem, Harian berbahasa Jawa Ekspres, Mingguan
Pembela Rakyat, Majalah Poestaka Timoer.
Dia juga menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi Kantor
Berita pendudukan Jepang Domei, dan pemimpin redaksi Kantor Berita Antara di
Surabaya.
Kelihaiannya dalam menulis, ia tuangkan saat menyusun aksara
dalam surat cinta kepada calon istrinya. Kisah itu terungkap dalam buku 'Bung
Tomo, Suamiku',yang ditulis istrinya, Sulistina Soetomo.
Dalam tulisannya, Bung Tomo mengisahkan awal perjumpaan
dengan sang kekasih. Keduanya merupakan pejuang dan memulai kisah cintanya di
medan pertempuran. Di suratnya, Bung Tomo menulis:
"Kalau ada musuh yang siap menembak, dan yang akan
ditembak masih pikir-pikir dulu, itu kelamaan. Aku dikenal sebagai seorang
pemimpin yang baik dan aku adalah seorang pandu yang suci dalam perkataan dan
perbuatan. Pasti aku tidak akan mengecewakanmu."
Bung Tomo melanjutkan. "Seorang pejuang tidak akan
mengingkari janjinya. Aku mencintaimu sepenuh hatiku, aku ingin menikahimu
kalau Indonesia sudah merdeka. Aku akan membahagiakanmu dan tidak akan
mengecewakanmu seumur hidupku."
3. Foto Legendaris
Sosok Bung Tomo tengah berpidato dengan sorot mata yang
bersemangat kerap muncul dalam momen Hari Pahlawan. Namun, gambar tersebut
ternyata bukanlah diambil saat 10 November.
Foto Bung Tomo
Hal itu diungkapkan Istri Bung Tomo, Sulistina. Dia mengakui
keaslian foto tersebut, namun momen yang tergambar dalam foto itu bukan terjadi
pada operasi perang 10 November. Bung Tomo, kala itu berpidato di Lapangan
Mojokerto pada 1947 dalam rangka mengumpulkan pakaian bagi korban perang
Surabaya.
Saat itu, warga Surabaya masih tertahan di pengungsian
Mojokerto dan jatuh miskin karena Surabaya masih dikuasai Belanda.
Momen penuh gelora itu direkam dalam kamera fotografer
Alexius Mendur dari IPPhoS (Indonesia Press Photo Servises). Sang fotografer
selanjutnya menerbitkannya di majalah majalah dwi bahasa Mandarin-Indonesia
Nanjang Post edisi Februari 1947.
Alex sendiri merupakan kawan baik Bung Tomo dan juga
merupakan pemotret peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945 dan pengibaran bendera
pusaka di hari itu.
4. Jadi Pejabat
Usai pertempuran di Surabaya, sejumlah jabatan penting
pernah diembannya. Pada periode 1955-1956, Bung Tomo menjabat Menteri Negara
Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim di
era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Kemudian, Bung Tomo juga pernah duduk sebagai anggota DPR
pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia.
5. Dipenjara Era Orba
Pada awal Orde Baru, Bung Tomo mendukung pemerintahan
Soeharto karena tidak berhalauan komunis. Namun sejak 1970, Bung Tomo mulai
mengkritik kebijakan Soeharto.
Sikap kritis memang menjadi bagian dari kepribadian Bung
Tomo kala melihat ketidakberesan di depan matanya. Hal itu terekam dalam
wawancara Bung Tomo dengan Judul Bung Tomo Menggugat: Pengorbanan Pahlawan
Kemerdekaan dan Semangat 10 November 1945 telah dikhianati di Majalah
Panji Masyarakat No 855 Tahun XIII ”.
Dalam artikel itu ditulis kritikan Bung Tomo kepada Presiden
Soeharto, Gubernur Ali Sadikin, dan Bulog yang seolah-olah menganakemaskan
etnis Tionghoa.
Selain itu, Bung Tomo juga kerap mengkritik adanya korupsi
dan penyalahgunaan kekuasaan di Orde Baru. Empat tahun setelah putra keduanya,
Bambang Sulistomo, ditahan 2 tahun karena diduga terlibat unjuk rasa pada
peristiwa 15 Januar 1974 atau dikenal dengan Malari, giliran Bung Tomo yang
ditahan akibat diduga terlibat unjuk rasa mahasiswa yang menentang kebijakan
Orde Baru.
Bersamanya ditahan juga jurnalis Mahbub Junaedi dan ahli
hukum Ismail Suny. Menurut Bambang, "Sejak keluar dari penjara, bapak tak
lagi meledak-ledak meskipun hati, sikap, dan kata-katanya tetap satu,
konsisten."
6. Wafat di Makah Dimakamkan TPU Biasa
Sutomo dikenal sangat religius dan bersungguh-sungguh dalam
menerapkan ajaran agama. Dia tidak menganggap dirinya sebagai seorang muslim
saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama.
Hidupnya berakhir kala ia menunaikan ibadah haji pada 7
Oktober 1981. Ia wafat di Padang Aradah. Jenazahnya kemudian dibawa pulang ke
Indonesia dan dimakamkan bukan di Taman Makam Pahlawan. Namun di Pemakaman Umum
di Ngagel, Surabaya, sesuai amanahnya.
Kendati Wafat sejak lama, gelar sebagai Pahlawan Nasional
baru disematkan kepadanya pada 10 November 2008. Penyematan gelar itu dilakukan
pemerintah setelah didesak Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar
(FPG) pada 9 November 2007.
Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor
041/TK/TH 2008. Pemberian gelar itu disampaikan Menkominfo, Mohammad Nuh,
kepada wartawan di Surabaya, Minggu 2 November 2008.
Meski Bung Tomo telah tiada, jasa-jasanya akan tetap
dikenang bangsa. Anak Indonesia diharapkan dapat mencontoh semangatnya dalam
membangun Indonesia menjadi lebih baik. (Ali/Yus)
sumber : Copas dari Group Green Warrior